Setelah menunaikan puasa sebulan lamanya sebagai umat muslim kita di wajibkan untuk melaksanakan Zakat fitrah, ada yang menyerahkannya langsung pada penerima zakat ada juga yang mengumpulkan di musholla / surau, masjid, bahkan ada juga yang pengumpulannya dilakukan di sekolah.
Masalah-masalah Waqi'iyyah Yang Berhubungan Dengan Zakat Fitrah
Zakat fitrah yang di berikan langsung pada penerima zakat tentunya sudah sangat jelas dari segi Zakat yang berikan, karena tunggal, sehingga tidak ada resiko zakat yang di keluarkan di terima oleh orang yang mengeluarkan zakat itu sendiri, berbeda jika zakat di kumpulkan di musholla, masjid dan lain sebagainya tentunya akan ada masalah-Masalah Waqi'iyyah yang timbul, di antaranya adalah :
1. Pembentukan panitia Zakat
Jika dikaji secara fiqih, status seorang panitia zakat yang ada di masyarakat umumnya bukan merupakan "amil" (berhak menerima zakat), karena status panitiahanyalah menjadi seorang wakil dari muzakki (orang yang mengeluarkan zakat), karena secara garis besar keduanya sangatlah berbeda.
Panitia zakat dibentuk secara swakarsa oleh masyarakat, tidak termasuk amil yang berhak menerima bagian zakat, sedangkan dalam ketentuan fikih, bahwa yang dimaksud dengan amil zakat adalah panitia atau badan yang dibentuk oleh pemerintah secara langsung.
Dalam konteks di negera Indonesia ini, lebih tepatnya adalah lembaga atau badan yang sudah mendapatkan izin operasional dari pemerintah, dalam hal ini Badan Amil Zakat Nasional (BAZNAS). Amil zakat statusnya sebagai wakil mustahiq (penerima zakat), maka zakat sudah dianggap sah setelah diserahkan kepada amil, berbeda dengan panitia zakat, dimana zakatnya baru sah ketika di serahkan pada penerima zakat (mustahiq).
2. Panitia zakat mencampur beras zakat
Sebenarnya tidak ada yang salah dari mencampur beras zakat, dan itu di perbolehkan, namun dengan ketentuan dalam pembagian zakat tidak ada sebagian beras zakat yang kembeli lagi pada pemberi zakat (orang yang punya), karena seperti yang telah sdikit di singgung di atas tadi bahwa pemberi zakat tidak boleh menerima zakatnya sendiri.
Tentunya di perlukan kehati-hatian dan ketelitian, untuk mnenyiasatinya tentunya bisa dengan membrikan zakat ke kampung tetangga, yang tidak ikut mengumpulkan zakat di daerah tersebut.
3. Panitia Menjual beras zakat
Seperti yang telah di jelaskan bahwa status panitia adalah wakil, jika beras yang di kumpulkan di jual oleh panitia, tentnya kewajiban zakat belum gugur, berbeda dengan BAZNAZ, karena saat zakat sampai di baznas kewajiban zakat yang di bebankan pada muzakki sudah gugur dan zakatnya sudah sah.
4. Panitia membagi zakat secara merata
Zakat merupakan bentuk ibadah sosial, yang membunyai sasaran penerima zakat yang khusus yang telah di tentukan atau seringkali disebut (Al-asnaf al-tsamaniyya), sehingga di hitung sah apabila benar-benar sampai pada orang yang berhak menerimanya. sehingga jika hanya di berikan secara merata tanpa pandang bulu, bahkan orang yang kaya pun dapat zakat, tentunya hal semacam ini sangat tidak di benarkan menurut syara'.
5. Pihak mustahiq (yang berhak penerima zakat) menyediakan beras untuk di jual pada orang yang akan zakat
Walaupun hal demikian tentunya jarang di jumpai bahkan mungkin belum pernah dijumpai, tapi masih memungkinkan untuk terjadi, dengan alasan merepotkan jika harus membawa beras dari rumah, sehingga mustahiq berinisiatif untuk menyediakan beras pada calon muzakki (pemberi zakat), agar orang tersebut bisa berzakat dengan beras tidak dengan uang.
Jika dilihat secara praktenya tentunya aneh, namun hal demikian SAH jika dilakukan, dengan dasar bahwa termasuk syarat sahnya jual beli adalah status barang yang di jual merupakan berstatus milik sendiri (Mabi') sehingga praktek demikian sudah memenuhi syarat jual beli. Dalam prakteknya, jika pembeli memberikan beras yang di beli sebagai bentuk zakat fitrahnya pada penjual tentunya di perbolehkan, karena beras yang di beli sudah menjadi haknya, tentunya dnegan catatan jika penjual merupakan mustahiq zakat (orang yang berhak menerima zakat).
6. Beras di sediakan oleh panitia zakat (wakil)
Dalam poin ini dilihat dari prakreknya ada 2 model yang bisa terjadi :
➤Panitia menyediakan beras kemasan yang dikemas khusus untuk zakat fitrah dalam jumlah yang banyak, sehingga para muzzaki bisa langsung membelinya, untuk menunaikan zakat nya, secara praktek tentunya hal ini sah dan boleh untuk dilakukan, karena jual belinya sah, sehingga muzakki di perbolehkan untuk memberikan panitia (wakil) untuk nantinya di bagikan pada mustahiq zakat.
➤Panitia menyediakan beras untuk zakat hanya sedkit, sebagai contoh panitia hanya menyediakan beras yang cukup untuk zakat satu orang saja, kemudian ada yang membeli beras tersebut, kemudian pembeli menyerahkan beras tersebut pada panitia (wakil) sebagai zakat yang harus di berikan pada mustahiq, akan tetapi justru panitia malah menjual beras tersebut pada calon muzakki (pemberi zakat) berikutnya dan begitu seterusnya, adapun praktek yang seperti ini tidaklah sah dan tidak boleh untuk dilakukan.
Disclaimer : Di kutip dari kitab panduan ibadah puasa dan zakat fitrah karangan Guru Saya Abu Muhammad Naufal Maimun Al-Banary yang di terbitkan oleh pondok pesantren MIFTAHUL HUDA desa Ragu Klampitan Rt.19 / 04 Kec. Batealit Kab. Jepara. menukil dari kitab-kitab fiqih seperti FATHUL QORIB, FATHUL MU'IN, AHKAM AL-FUQOHAFIQH AL-IBADAH, Al-UM, FATH AL-WAHAB, FIQH L-SUNNAH dan masih banyak lagi sumber yang beliau ambil.
Posting Komentar