METODE IJTIHAD ISTIHSAN
Makalah ini
disusun untuk memenuhi
Mata kuliah
Ushul Fiqh
DosenPengampu
:
Sanusi, M.Pd.I
Sanusi, M.Pd.I
Di
susunoleh :
1.
PURNOMO NIM :
1410120067
2.
PUJI ASTUTIK NIM : 1410120043
PROGRAM
STUDI TARBIYAH JURUSAN PAI
SEKOLAH
TINGGI AGAMA ISLAM NEGERI KUDUS
TAHUN
2014/2015
METODE
IJTIHAD ISTIHSAN
BAB I
PENDAHULUAN
1. Latar Belakang Masalah
Sumber hukum ialah sumber pengambilan di dalam menetapkan suatu hukum
syara’, sumber yang disepakati oleh ulama mujtahid ataupun sumber yang
disepakati oleh mereka. Sumber hukum dalam perundangann Islam secara umumnya
dapat dibagikan kepada dua bagian yaitu Dalil Qath’i dan dalil Dzanni.
Dalil Qath’i ialah dalil-dalil
yang disepakati oleh ulama, Dalil tersebut dibagi
kepada beberapa bagian, yaitu Al-Qur’an,
As-Sunnah, Ijma’, dan Qiyas, Dalil Dzanni ialah dalil-dalil yang tidak
disepakati oleh sebagian ulama. Contohnya, seperti Istihsan, Maslahatul
Mursalah, ‘Urf, Istishab, dan sebagainya. (Abdul
Latif Muda, 1997: 62).1[1]
2. Rumusan Masalah
1.
Bagaimana Metode ijtihad Istihsan itu?
2.
Bagaimana
Kehujjahan Ijtihad istihsan?
1[1]
|
Muda, Abd Latif, Rosmawati Ali’Mat Zin. 1997. Pengantar
Usul Fiqh.Kuala Lumpur: Pustaka Salam Sdn Bhd.
Khalaf, Abdul Wahab. 1984. Sumber-sumber Hukum
Islam. Bandung: Risalah.
_______. 1990. Ilmu Ushul Fiqh. Jakarta: PT
Rineka Cipta Nor, Amir Husin Mohd. 2002.
Falsafah Perundangan Islam. Mahzum Book
Services.
BAB II
PEMBAHASAN
1. Pengertian Istihsan
Memperhitungkan bahwa sesuatu itu adalah baik.
Adapun
Istihsan menurut pengertian istilah Seperti yang disebutkan oleh abdul wahab
khalaf [2] bahwa yang
dimaksud Istihsan adalah:
"Berpindahnya
seorang mujtahid dari ketentuan Qiyas jaly kepada ketentuan Qiyas Khofy atau
dari ketentuan Umum kepada ketentuan yang husus (pengecualian), karena menurut pandangan mujtahid itu adalah dalil
(alasan) yang lebih kuat yang menghendaki perpindahan yang dimaksud”.
"Berpindah dari
seharusnya menggunakan suatu Qiyas kepada Qiyas yang lainnya yang lebih kuat
atau penghususan ketentuan Qiyas dengan dalil yang lebih kua”t.
Senada
dengan pendapat diatas yaitu pendapatnya Syaikh Wahbah az- Zuhaili[4], dimana menurut
beliau definisi Istihsan terdiri dari dua yaitu :
Ø Mengunggulkan (memakai) qiyas khafi dan
meninggalkan qiyas jali karena ada petunjuk untuk itu.
Ø Pengecualian
masalah juz’iyah dari Ashal yang bersifat Kully atau dari kaidah-kaidah yang
berlaku umum karena ada dalil (petunjuk)khusus yang mengharuskan hal tersebut.
Istihsan
yang
disebut pertama dikenal dengan Istihsan Qiyasi, sedangkan yang kedua
disebut Istihsan Istisnaiy[5].
Pendapat
Abdul wahab Khalaf dan Wahbah az-Zuhaily lebih tepat dalam menggambarkan
pemakaian istihsan dikalangan ulama’ hanafiyah, Sedangkan definisi imam
Al-bazdawy lebih tepat dalam menggambarkan pemakaian istihsan dikalangan ulama’
malikiyah dan hanafiyah.
2. Dasar Pijakan perumusan istihsan sebagai dalil
Bila
dilacak dasar perumusan dan akar sejarah munculnya istihsan sebagai dalil hokum,
adalah berawal dari persoalan qiyas, Qiyas sebagai salah satu dalil hukum dalam
persoalan-persoalan tertentu tidak dapat diterapkan, karena salah satu dari
unsur rukunnya yaitu; illat tidak memenuhi syarat.
Dengan
kata lain, illat qiyas yang akan dijadikan sebagai pautan atau penyamaan hukum
bagi persoalan tertentu itu tidak dapat diterapkan, karena tidak sebanding.
Oleh
karena itu, harus diselesaikan dengan cara lain yang lebih mendekati tujuan
syara’, Dasar pemikiran dan perumusan istihsan seperti itu kemudian diangkat
sebagai salah satu dalil hukum (dalil istimbathoh) oleh imam Abu Hanifah
dikalangan para pengikutnya[6].
________________________________________
[1] Muhammad
Al-said Ali abdur Rabuh. Buhus Al-ikhtilaf Fil Adillah Al-muhtalaf Fiha
Indal Ushuliyyin. Mesir.
[2]Abdul wahab Khalaf. Ilmu Ushul Feqih. Kairo.
Maktabah Ad-Dakwah Al-Islamiyah. Cet VIII, 1990. Hal 79.
[4]Wahbah Az-Zuhaily. Usulul Fiqh Al-Islamy. Dimasq
Syria. Darul Fikri. Cet-2 tahun 2001. Juz II Hal 739
[5]Lihat Abdul
wahab Khalaf. Op. Cit. hal 79. Lihat juga Satria Effendi. Ushul fiqh. Jakarta. Kencana cet-1 2005. Hal 143.
Lihat juga Abu Zahroh. Ushul Fiqh. Mesir. Darul fikr Al-Aroby, 1958. Hal
263-264
Disamping
itu menurut hasby ash-Shiddiqy[7] munculnya
istihsan berawal dari adanya persoalan hukum yang menyalahi (berlawanan dengan)
kaidah umum yang sudah biasa dipakai lantaran suatu sebab yang mengharuskan
meninggalkan (mengenyampingkan) kaidah tersebut.
Sebab
dengan meninggalkan kaidah yang telah lazim dipakai itu, justru lebih dekat
kepada maksud syara’ yaitu untuk kemaslahatan, Penggunaan istihsan ini, lanjut
hasby Ash-shidqi hanya berlaku pada masalah-masalah juz’iyyah, bukan pada
masalah-masalah kulliyah.
3. Pembagian Istihsan
Seperti
yang telah disebut diatas secara global istihsan dibagi menjadi 2 macam yaitu: istihsan
Qiyasi dan istihsan Istisnaiy.
Istihsan
Qiyasi terjadi
pada suatu kasus yang mungkin dilakukan padanya salah satu dari dua bentuk qiyas,
yaitu qiyas jali atau qiyas khafi, Pada dasarnya bila
dilihat dari segi kejelasan ‘illat-nya maka qiyas jali lebih
pantas didahulukan atas qiyas khafi, Namun menurut mazhab Hanafi,
bilamana mujtahid memandang bahwa qiyas khafi lebih besar kemaslahatan
yang dikandungnya dibandingkan dengan qiyas jali, maka qiyas jali
itu boleh ditinggalkan dan yang dipakai adalah hasil qiyas khafi.
Praktik
seperti itulah yang dikenal dengan Istihsan qiyasi, Contohnya:[8] tentang sisa
air minuman burung buas seperti elang dan burung-burung pemangsa lainnya,
menurut al-Qiyas terang ( jaliy ), sisa minuman burung elang adalah najis,
kerana ia diqiyaskan dengan sisa minuman binatang buas yang lain, seperti harimau
dan serigala, Berdasarkan dagingnya tidak boleh dimakan karena najis
(illatnya).
Tapi
kalau menurut qiyas khofy (burung elang diqiyaskan dengan manusia yang
sama-sama tidak boleh dimakan dagingnya tapi tidak najis, Detailnya paruh
burung elang di qiyaskan dengan tulang manusia yang mana hukumnya suci) maka
sisa minuman burung elang dan burung pemangsa yang lain tidak najis. Menghukumi
sucinya sisa minuman burung buas berdasarkan qiyas khofy (bukan dengan qiyas
jaly) inilah yang dinamakan istihsan qiyasi.
1.
Istihsan bin-nas, yaitu hukum pengecualian
berdasarkan nas (Al-Qur’an atau Sunnah) dari kaidah yang bersifat umum
yang berlaku bagi kasus-kasus serupa, Contoh istihsan dengan Al-Qur’an adalah
ucapan seseorang : “ hartaku akan ku shodaqohkan”, berdasarkan qiyas seseorang
tersebut harus menshodaqohkan semua hartanya, namun hukum ini dikecualikan,
yang di sodaqohkan hanya harta zakatnya saja berdasarkan firman alloh SWT: خذ من
أموالهم صدقة
Contohnya
istihsan dengan hadits adalah Puasa tidak batal apabila makan secara tidak
sengaja disebabkan lupa, Menurut kaedah umum (Qiyas), puasa seseorang batal
karena ia tidak menahan diri daripada memasukkan sesuatu ke dalam rongga badan,
Namun hukum itu di kecualikan daripada kaedah umum berdasarkan hadis Nabi SAW :
من اكل او شرب ناسيا فلا يفطر فانما هو رزق رزقه الله
“Barang siapa yang terlupa sedangkan ia berpuasa lalu ia makan atau minum, maka hendaklah ia menyempunakan puasanya. Sesungguhnya Allah memberi makan dan minum kepadanya”. ( Riwayat Al-Bukhari dan Muslim dan At-Tarmizi dan Abu Daud dan Ibnu Majah).
من اكل او شرب ناسيا فلا يفطر فانما هو رزق رزقه الله
“Barang siapa yang terlupa sedangkan ia berpuasa lalu ia makan atau minum, maka hendaklah ia menyempunakan puasanya. Sesungguhnya Allah memberi makan dan minum kepadanya”. ( Riwayat Al-Bukhari dan Muslim dan At-Tarmizi dan Abu Daud dan Ibnu Majah).
________________________________________
[7]Hasbi ash-Sdiqy.
Pokok-pokok pegangan imam-imam madzhab dalam membina hukum islam. Jakarta:
Bulan Bintang, 1973, hal 163.
2.
Istihsan
berlandaskan ijma’, Misalnya Transaksi Ishtisna’ (pesanan untuk membuat sesuatu), Menurut kaidah umum (qiyas)
praktik seperti itu tidak dibolehkan, karena pada waktu mengadakan akad
pesanan, barang yang akan dijualbelikan tersebut belum ada. Memperjualbelikan benda yang belum ada
waktu melakukan akad dilarang dalam hadis Rasulullah (HR. Abu Daud).
Namun hal itu
dibolehkan sebagai hukum pengecualian, karena tidak seorang pun ulama yang
membantah keberlakuannya dalam masyarakat sehingga di anggap sudah disepakati (ijma’)[10].
3.
Istihsan
yang berlandaskan ‘urf (adat kebiasaan), Misalnya: boleh mewakafkan benda
bergerak seperti buku-buku dan perkakas
alat memasak, Menurut ketentuan umum (qiyas) perwakafan, seperti dikemukakan
Abdul-Karim Zaidan, wakaf hanya dibolehkan pada harta benda yang bersifat kekal
dan berupa benda tidak bergerak seperti tanah, dasar kebolehan mewakafkan benda
bergerak itu hanya adat kebiasaan di berbagai negeri yang membolehkkan praktik
wakaf tersebut.
4.
Istihsan
yang berlandaskan Darurat dan Hajat, Misalnya: Air sumur atau kolam yang
terkena najis, berdasarkan kaidah umum
air tersebut tidak boleh di gunakan, akan tetapi dalam kondisi darurat, air
tersebut dibutuhkan, maka pada saat kondisi begini diperbolehkan menurut
kalangan madhab hanafi[11].
untuk menghilangkan najis tersebut cukup
memasukkan beberapa galon air kedalam sumur atau kolam tersebut karena kondisi
darurat yang dihadapinya.
5.
Istihsan
yang didasarkan atas maslahah mursalah, Misalnya mengharuskan ganti rugi atas
diri seorang penyewa rumah jika peralatan rumah itu ada yang rusak di tangannya
kecuali jika kerusakan itu disebabkan bencana alam yang di luar kemampuan
manusia untuk menghindarinya.
Menurut kaidah umum, seorang penyewa
rumah tidak dikenakan ganti rugi jika ada yang rusak selama ia menghuni
rumah itu kecuali jika kerusakan itu disebabkan kelalaiannya, Tetapi demi
menjaga keselamatan harta tuan rumah dan menipisnya rasa tanggung jawab
kebanyakan para penyewa, maka kebanyakan ahli Fiqh berfatwa untuk membebankan
ganti rugi atas pihak tersebut.
Menurut imam
Al-Ghozali dengan melihat pembagian istihsan dari imam al-Karkhi tokoh usul
fiqh hanafiyah), beliau menolak istihsan yang tidak didasarkan pada syara’ saja
seperti istihsan yang berlandaskan uruf (kebiasaan)[12].
________________________________________
[10] Dalam mazhab syafi’I aqad Istishna’ juga
diperbolehkan karena di qiyaskan dengan aqad salam yang mana jelas ada hadis
Nabi yang memperbolehkan hal tersebut.
4. Kehujjahan Istihsan
Seperti
yang telah kita ketahui bersama, penggunaan istihsan dalam mengistimbatkan
hukum masih diperselisihkan oleh ulama’ madzhab menjadi dua kelompok yaitu:
1.
Kelompok
pertama terdiri Mazhab Hanafi, Maliki, dan Mazhab Hanbali berpendapat bahwa istihsan
dapat dijadikan landasan dalam menetapkan hukum dengan beberapa alasan
antara lain[13] :
a.
Firman
Allah : (QS. Az-Zumar/39:18)
“Yang
mendengarkan Perkataan lalu mengikuti apa yang paling baik di antaranya,mereka
Itulah orang-orang yang telah diberi Allah petunjuk dan mereka Itulah
orang-orang yang mempunyai akal”.
Ayat tersebut menurut
mereka, memuji orang-orang yang menngikuti perkataan (pendapat) yang baik,
sedangkan mengikuti istihsan berarti mengikuti sesuatu yang dianggap
baik, dan oleh karena itu sah dijadikan landasan hukum.
b.
Sabda
Rasulullah :
مارأه
المسلمون حسنا فهو عند الله حسن
“Apa yang
dianggap baik oleh orang-orang Islam, adalah juga baik disisi Allah” (HR Ahmad dalam
kitab Sunnah, bukan dalam musnadnya, Ada yang mengatakan hadits ini mauquf pada
ibnu Mas’ud).
Hadis ini
menurut pandangan mereka menganjurkan untuk mengikuti apa yang dianggap baik
oleh orang-orang Islam karena merupakan sesuatu yang baik di sisi Allah, dan dapat
dijadikan landasan menetapkan hukum.
2.
Kelompok
kedua yaitu Imam Muhammad ibn Idris al –Syafi’I (w.204 H), pendiri Mazhab Syafi’I,
madzhab zahiriyah dan madzhab syi’ah tidak menerima istihsan sebagai
landasan hukum[14].
Alasannya
sebagaimana dijelaskan oleh imam Syafi’I yaitu: barangsiapa yang menetapkan
hukum berlandaskan istihsan sama dengan membuat syariat baru dengan hawa
nafsu.
Alasannya antara
lain :
a.
Firman Allah SWT
pada Ayat
38 Surat al-an’am :
“Dan Tiadalah
binatang-binatang yang ada di bumi dan burung-burung yang terbang dengan kedua
sayapnya, melainkan umat (juga) seperti kamu, Tiadalah Kami alpakan sesuatupun
dalam Al-Kitab, kemudian kepada Tuhanlah mereka dihimpunkan”.
Ayat di atas,
menurut Imam Syafi’i menegaskan kesempurnaan Al-Qur’an untuk menjawab segala
sesuatu.[15]
________________________________________
b.
Firman Allah SWT
padaAyat
44 Surat al-Nahl :
“Keterangan-keterangan
(mukjizat) dan kitab-kitab. dan Kami turunkan kepadamu Al Quran, agar kamu
menerangkan pada umat manusia apa yang telah diturunkan kepada mereka dan
supaya mereka memikirkan”.
Ayat ini
menjelaskan bahwa di samping Al-Qur’an ada Sunnah Rasulullah untuk menjelaskan
dan merinci hukum-hukum yang terkandung dalam Al-Qur’an sehingga menjadi lebih
lengkap untuk menjadi rujukan menetapkan hukum sehingga tidak lagi memerlukan istihsan
yang merupakan kesimpulan pribadi.
c.
Firman Allah SWT
padaAyat
49 Surat al-maidah :
“Dan hendaklah
kamu memutuskan perkara di antara mereka menurut apa yang diturunkan Allah, dan
janganlah kamu mengikuti hawa nafsu mereka. dan berhati-hatilah kamu terhadap
mereka, supaya mereka tidak memalingkan kamu dari sebahagian apa yang telah
diturunkan Allah kepadamu. jika mereka berpaling (dari hukum yang telah
diturunkan Allah), Maka ketahuilah bahwa Sesungguhnya Allah menghendaki akan
menimpakan mushibah kepada mereka disebabkan sebahagian dosa-dosa mereka. dan
Sesungguhnya kebanyakan manusia adalah orang-orang yang fasik”.
Ayat diatas menurut
Imam Syafi’i, memerintahkan manusia untuk mengikuti petunjuk Allah dan
Rasul-Nya dan larangan mengikuti kesimpulan hawa nafsu. Hukum yang di bentuk
melalui istihsan adalah kesimpulan hawa nafsu, oleh karena itu tidak sah
dijadikan landasan hukum.
Menurut imam
Gozali, 2 dalil yang dikemukakan oleh ulama’ yang berhujjah dengan istihsan
diatas yaitu firman Alloh SWT pada surat Az-Zumar ayat 18, itu ya harus dengan
al-qur’an seperti firman Alloh di ayat yang lainnya, sedangkan hadis nabi yang
diriwayatkan ahmad tersebut hanyalah khobar ahad yang tidak bisa di pakai
hujjah menurut ulama’ Ushul,
adanya perbedaan
pendapat tersebut disebabkan perbedaan dalam mengartikan istihsan, Imam Syafi’i membantah istihsan yang
didasarkan atas hawa nafsu tanpa berdasarkan dalil syara’, Sedangkan istihsan
yang di pakai oleh para penganutnya bukan didasarkan atas hawa nafsu,
tetapi men-tarjih (menganggap kuat) salah satu dari dua dalil yang
bertentangan karena dipandang lebih dapat menjangkau tujuan pembentukan hukumannya.
Dalam gambaran
tersebut, sasaran dari kritikan Imam Syafi’I di atas bukanlah istihsan yang
telah dirumuskan secara definitif di kalangan penganutnya, tetapi sasarannya
adalah praktik-praktik istihsan yang terdapat di Irak di mana secara
ilmiah belum dirumuskan secara definitif[17].
________________________________________
[16]Wahbah Az-Zuhaily. Ushul fiqh Al- Islamy. Op
Cit. Juz II Hal 750.
[17]Satria Effendi. Op Cit hal 148.
Bahwa apabila di
teliti persoalan yang menjadikan perbedaan pendapat dikalangan ulama’ usul Fiqh
dalam menerima atau menolak Istihsan sebagai salah satu dalil Syara’, maka akan
ditemui bahwa perbedaan tersebut hanyalah merupakan perbedaan istilah, Para
ulama’ yang menolak keberadaan istihsan sebagai salah satu dalil dalam
menetapkan hukum, ternyata dalam praktiknya berpendapat sama dengan ulama’ yang
menerima kehujjahan Istihsan, Seperti dalam masalah Mudhorobah, berbuka puasa
bagi para musafir yang sedang berpuasa, dan hukum-hukum lain yang dikemukakan
ulama’ yang menerima kehujjahan Istihsan juga diterima oleh para penolak
kehujjahan istihsan, Oleh sebab itu, ibnu qudamah mengatakan bahwa tidak ada
alasan untuk menolak Istihsan apabila dilakukan berdasarkan dalil yang didukung
oleh Syara’, sekalipun berdasarkan induksi dari berbagai ayat dan hadist.
Adapun istihsan
yang dilakukan semata-mata berdasarkan pendapat akal, maka seluruh ulama’ Usul
fiqh menolaknya, karena dalam masalah hukum syara’ pendapat akal harus mendapat
legalisasi dari nash, walaupun secara umum[18].
Kalau kita
melihat produk ijtihad (hukum) dengan menggunakan dalil istihsan yang banyak
yang sama dengan produk ijtihad dari kelompok Syafi’iyyah yang menolak istihsan
semakin menguatkan kepada kita bahwa perbedaan itu hanyalah perbedaan dalam
definisi lafadz saja, bukan haqiqatnya[19].
BAB III
PENUTUP
C.
Kesimpulan
Istihsan adalah
beralih dari hukum yang di
istinbatkan
melalui qiyas jaliy kepada hukum yang dikeluarkan melalui qiyas khafiy atau
pengecualian satu-satu masalah juz’iyyah daripada kaidah yang berbentuk kulliy
karena terdapat dalil lain yang lebih disenangi seorang mujtahid untuk berbuat
demikian.[2]
Apabila
dikaji dan diteliti pengertian yang diberikan oleh ulamak Hanafi dan Maliki,
penggunaan Istihsan menurut pendapat mereka bukanlah berdasarkan akal dan nafsu
semata akan tetapi masih berdasarkan dalil-dalil syara’ juga. Sebenarnya antara
mereka tiada perselisihan, kerana tujuan mereka adalah satu yaitu membawa
kebaikan untuk masyarakat, agama dan membawa kebenaran serta berhati-hati dan
teliti dalam mengeluarkan hukum. Hal ini bisa kita lihat diantaranya pendapat
dari hanafiyah maupun malikiyah yang tidak mau memakai hisab dalam penentuan
awal bulan hiriyah berdasarkan istihsan atau maslahah mursalah.
________________________________________
[2]Khallaf, Abdul
Wahab. 1984. Sumber-sumber Hukum Islam. Bandung: Risalah.
_______. 1990. Ilmu
Ushul Fiqh. Jakarta: PT Rineka Cipta
http://purnamaelnith.blogspot.com/2013/04/metode-ijtihad-istishan-maslahah.html
DAFTAR
PUSTAKA
1[1]http://purnamaelnith.blogspot.com/2013/04/metode-ijtihad-istishan-maslahah.html
Muda, Abd
Latif, Rosmawati Ali’Mat Zin. 1997. Pengantar Usul Fiqh.Kuala Lumpur:
Pustaka Salam Sdn Bhd. Khallaf, Abdul Wahab. 1984. Sumber-sumber Hukum Islam. Bandung: Risalah.
_______. 1990. Ilmu
Ushul Fiqh. Jakarta: PT Rineka Cipta
Nor, Amir Husin Mohd. 2002. Falsafah Perundangan Islam. Mahzum Book
Services
[1] Muhammad
Al-said Ali abdur Rabuh. Buhus Al-ikhtilaf Fil Adillah Al-muhtalaf Fiha
Indal Ushuliyyin. Mesir.
[2]Abdul wahab Khalaf. Ilmu Ushul Feqih. Kairo.
Maktabah Ad-Dakwah Al-Islamiyah. Cet VIII, 1990. Hal 79.
[3]Al-bazdawi. Kasyful Asror Alal Ushul. Maktabah
Shonayi’, 1307 H.
[4]Wahbah Az-Zuhaily. Usulul Fiqh Al-Islamy. Dimasq
Syria. Darul Fikri. Cet-2 tahun 2001. Juz II Hal 739
[5]Lihat Abdul
wahab Khalaf. Op. Cit. hal 79. Lihat juga Satria Effendi. Ushul fiqh. Jakarta. Kencana cet-1 2005. Hal 143.
Lihat juga Abu Zahroh. Ushul Fiqh. Mesir. Darul fikr Al-Aroby, 1958. Hal
263-264
[6] Romli SA. Muqaranah
Mazahib Fil Ushul. Jakarta. Gaya Media Pratama. Cet ke-1 1999. Hal 142
[7]Hasbi ash-Sdiqy. Pokok-pokok pegangan imam-imam
madzhab dalam membina hukum islam. Jakarta: Bulan Bintang, 1973, hal 163.
[8]Wahbah Az-zuhaily. Op Cit. juz II hal 741
[9] Satria effendi.
Op. Cit. hal 144-145.
[10] Dalam mazhab
syafi’I aqad Istishna’ juga diperbolehkan karena di qiyaskan dengan aqad salam
yang mana jelas ada hadis Nabi yang memperbolehkan hal tersebut.
[11] Lihat dalam
Muhammad Al-Said Ali Abdul Rabuh. Op Cit hal 72.
[12] Nasrun Haroen. Ushul
Fiqh. Jakarta. Logos Wacana Ilmu. 1977. Hal 105.
[13]Lihat Satria
Efendi.Op Cit.hal
145-147
[14] Muhammad bin
Ali bin Muhammmad As-Syaukani. Irsyadul Fuhul. Darul Fikri. Beirut
Lebanon. Tt.
[16]Wahbah Az-Zuhaily. Ushul fiqh Al- Islamy. Op
Cit. Juz II Hal 750.
[17]Satria Effendi. Op Cit hal 148.
[17] Abdul Wahab
Khalaf. Op. Cit., hal 83. Lihat juga Abu Zahroh. Op. Cit. hal 166
[18] Nasrun Haroen.
Op. Cit. Hal 113.
Posting Komentar