Dropship juga di sebut sebagai sistem jualan tanpa perlu modal, karena penjual tidak perlu stok barang, namun tetap bisa jualan dan dapat ke untungan mulai dari ratusan ribu bahkan bisa sampai puluhan juta perbulannya.
Peran dropshipper sendiri bisa di bisa di sebut penjual namun berperan ganda sebagai perantara antara pembeli dan yang punya barang (supplier).
Pandangan islam tentang hukum menjadi dropshipper
Setelah mengetahui tentang keterangan dropshipper di atas, maka bisa di simpulkan bahwa dropship / dropshipper merupakan suatu bisnis tanpa modal (urudlu al-tijârah). Dropshipper selaku pedagang berperan sebagai makelar (samsarah) atau bisa di sebut juga sebagai wakil yang mendapatkan kuasa untuk menjual barang oleh supplier.
Barang yang diperjual belikan tentunya barang yang spesifikasi ukuran, warna dan kualitas semua dari supplier, Karena kembali lagi peran dropshipper hanya untuk menjualkan barang dari supplier.
Kasus yang sering terjadi berkaitan dengan perdropshippan pada umumnya adalah tidak Dropshipper meminta ijin dari supplier terlebih dahulu, biasanya dropshipper membuat toko dan di isi dengan beragam produk dari berbagai supplier berbeda tanpa ijin terlebih dahulu dan tetap di jual walaupun barang statusnya masih milik orang lain.
sebenarnya tentunya supplier pasti sangat senang, walaupun tanpa ijin, karena barangnya bisa laku, namun kembali lagi disnini Status dropshipper tentunya hanya sebatas makelar barang, yang menjual barang orang lain tanpa ijin atau sudah ijin kepada pemilik asli (supplier).
Adanya ikhtilaf (Khilafiyah) Ulama' tentang hukum jual beli sistem dropship
Dalam islam Adanya Khilafiyah para Ulama (perbedaan pendapat) dalam menentukan sebuah hukum islam sangat wajar terjadi, bahkan ikhtilaf merupakan sebuah rohmat dalam hukum dropship ini juga ada ikhtilaf, karena ada ulama yang mengharamkan ada juga yang membolehkan.
Selain adanya perbedaan pendapat dari ulama, jika di tinjau dari prakteknya sistem jual beli dropsip ini ada 2 poin yang bisa di garis bawahi, yaitu adanya ijin dan tidak adanya ijin.
1. Melakukan dropship ke supplier tanpa ijin
Sistem jual beli dengan sistem dropship seperti ini mayoritas ulama sepakat haram, kecuali madzhab Hanafi yang masih membolehkannya dengan syarat asalkan penjual (dropshipper) mengetahui ciri-ciri umum dari barang yang di jual.
Selain madzhap Hanafi, sebagian madzhab Syafi'iyah juga masih ada yang memperbolehkannya, dengan catatan barang yang di jual barang yang umum sehingga mudah di kenali dan tidak gampang berubah ciri khasnya.
Jika dikaji lebih dalam, Pangkal hukum yang memperlemah status kebolehan dropship ini terdapat pada masalah izin yang belum diperoleh dropshipper dari supplier. Itulah sebabnya dropship dikelompokkan dalam sistem jual beli samsarah (makelar) dan untuk model pertama ini hanya di mazhab Hanafi saja yang membolehkannya.
2. Melakukan dropship dengan ijin dari supplier
Untuk yang kedua ini dropshipper sudah mendapat ijin dari supplier, sehingga statusnya merupakan orang yang di ijinkan untuk menjualkan barang dari supplier dan status barang masih milik supplier.
Dropshipper Selaku orang yang mendapat ijin menjualkan barang, maka dropship sistem kedua ini masuk dalam kategori bai’u ainin ghaibah maushufatin bi al-yad ( jual beli barang yang belum ada di tempat namun bisa diketahui sifat dan ciri khas barangnya dan diperbolehkan sebab pemberian kuasa).
Kalangan ulama mazhab Syafi’i ada yang memandang hukumnya sebagai boleh sebagaimana pendapat yang artinya: “Maksud dari pernyataan Abi Syujja’ “belum pernah disaksikan”, difahami sebagai “apabila barang yang dijual pernah disaksikan, hanya saja saat akad dilaksanakan barang tersebut masih ghaib (tidak ada)”, maka hukumnya adalah boleh.” (Taqiyuddin Abu Bakar bin Muhammad Al-Hushny, Kifâyatu al-Akhyar fi hilli Ghâyati al-Ikhtishâr, Surabaya: Al-Hidayah, 1993: 1/240).
Kebolehan bersyarat, dengan ketentuan mutlak yaitu apabila contoh barang tersebut pernah disaksikan oleh pembeli, mudah dikenali dan tidak gampang berubah modelnya. Dalam pendapat lain juga menjelaskan yang Artinya: “Jika barang “‘ain ghaibah” adalah berupa barang yang umumnya tidak mudah berubah, misalnya seperti wadah (tembikar) dan sejenisnya, atau barang tersebut tidak mudah berubah oleh waktu ketika mulai dilihat (oleh yang dipesani) dan dilanjutkan dengan membeli (oleh yang `memesan), maka akad (jual beli ‘ain ghaibah) tersebut adalah sah disebabkan tercapainya pengetahuan barang yang dimaksud.”
(Lihat: Taqiyuddin Abu Bakar bin Muhammad Al-Hushny, Kifâyatu al-Akhyar fi hilli Ghâyati al-Ikhtishâr, Surabaya: Al-Hidayah, 1993: 1/241).
Maka bisa disimpulkan sistem jual beli dropship kedua ini adalah akad salam (jual beli dengan menggunakan sistem pemesanan dulu) maka hukumnya jaiz (boleh).
(sumber: islam.nu.or.id)
Posting Komentar